I.Identitas Buku :
Judul : LUMBUNG PANGAN; Menata Ulang Kebijakan Pangan,
Penulis : Hira Jhamtani,
Editor : Roem Topatimasang,
Kolasi : Oktober 2008,
Ukuran Buku :15×21cm.,
Jumlah Halaman : 154 hlm.
Penerbit : INSIST Press, 2008
II.Ringkasan Buku :
Titik perhatian buku ini adalah persoalan ketahanan pangan di Indonesia. Ketahanan pangan adalah pilihan politik di tingkat global dan nasional, tetapi merupakan persoalan hidup atau mati di tingkat lokal atau keluarga. Ketahanan pangan terkait dengan pembuatan keputusan-keputusan politik yang benar dalam kerangka pembangunan nasional yang memadukan pembangunan pedesaan, peran serta (partisipasi) sejati masyarakat, dan pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan.
Menurut sang penulis, setidaknya ada empat aspek salah urus pertanian dan pangan di Indonesia, yaitu: kebijakan intensifikasi dan penyeragaman pertanian serta pangan, pengabaian sistem serta varietas/spesies yang dibudidayakan petani, konversi lahan pertanian dan pengabaian kesejahteraan petani.
1. Kebijakan intensifikasi dan penyeragaman pertanian serta pangan
Kebijakan pertanian pemerintah sejak 1960an lebih diarahkan pada intensifikasi penyeragaman system pertanian dan pangan. Contoh yang sudah sering dibahas dan dikritik adalah Revolusi Hijau, yaitu penggunaan bibit varietas unggul, pestisida dan pupuk kimia serta jaringan irigasi untuk memacu produksi beras. Dampak lingkungan dari Revolusi Hijau, dari pencemaran air dan tanah oleh input kimia pertanian, hingga kehilangan varietas tanaman yang dibudidayakan oleh petani. Namun, perlu diingat bahwa dari awal, kebijakan pertanian diarahkan pada intensifikasi produksi satu jenis pangan saja, yaitu padi. Diasumsikan bahwa semua orang Indonesia makan beras sehingga padi menjadi perhatian utama, walaupun ada upaya mengembangkan jagung dan palawija melalui teknologi revolusi hijau.
Ada dua hal penting berkaitan dengan intensifikasi dan monokultur budidaya ini. Pertama, penggunaan pestisida kimia terus menerus dalam jangka panjang menimbulkan resistensi (kekebalan) dan resurjensi (kemunculan kembali) hama. Kedua, penggunaan satu varietas saja dalam satu sektor pertanian membuat sistem pertanian rentan, karena bila terserang hama, maka seluruh ladang, sawah, tambak dan kebun akan gagal panen. Sebaliknya kebun, sawah, tambak, dan ladang yang polikultur (terdiri dari berbagai spesies dan varietas) adalah sebuah strategi yang baik untuk mengantisipasi serangan hama. Demikian pula, ketika beras dijadikan satu-satunya pangan pokok, maka penurunan produktivitas dianggap sebagai ancaman. Padahal dari dulu, masyarakat mempunyai strategi penganekaragaman pangan untuk mengantisipasi masa-masa sulit.
2. Sistem Pertanian Lokal Diabaikan
Karena perhatian, dana, upaya penelitian dan pengadaan sarana pertanian terserap untuk mensukseskan aneka revolusi monokultur yang telah diuraikan, maka pemerintah dan lembaga penelitian mengabaikan kajian, pengembangan dan perlindungan sistem pertanian dan pangan lokal. Kalaupun ada upaya kajian, biasanya tidak tersedia dana dan dukungan politik yang memadai untuk menerapkan hasil kajian. Seluruh perangkat kebijakan dan insentif ekonomi di bidang pertanian diarahkan pada pertanian intensif dan monokultur. Kebijakan dan praktek ini mengarah pada erosi plasma nuftah pertanian dan pengetahuan tradisional mengenai sistem pertanian yang lebih berkelanjutan. Ketahanan pangan menjadi terganggu manakala petani tidak mempunyai “tabungan” aneka benih dan harus tergantung pada satu varietas benih saja, yang harus mereka beli setiap tahun.
3. Konversi Lahan Subur
Konversi lahan merupakan masalah yang mendasar. Investasi yang besar untuk mensukseskan Revolusi Hijau tidak diiringi dengan kebijakan yang menyeluruh di bidang pertanian terutama dalam mempertahankan luas lahan pertanian. Setiap tahun konversi lahan pertanian subur diperkirakan 30 ribu ha per tahun (KLH, 2002), sebagian besar merupakan lahan sawah yang beririgasi teknis dan sebagian besar di Jawa. Padahal Jawa mempunyai produktivitas padi tertinggi yaitu 5,2 ton/ ha pada 1996, sementara produktivitas di Sumatera 3,7 ton/ha dan Kalimantan 2,6 ton/ha. Di tengah kerugian itu, pemerintah justru mencetak sawah baru di luar Jawa di mana prasarana irigasi belum terlalu baik dan kesuburan rendah. Salah satu upaya tersebut yang berakhir dengan bencana lingkungan adalah konversi hutan gambut sejuta hektar di Kalimantan Tengah dan Selatan menjadi lahan sawah. Proyek besar itu gagal, dan menyisakan masalah lingkungan dan sosial yang tak kunjung diselesaikan. Namun, hal itu tidak menjadi pelajaran. Baru-baru ini pemerintah mencanangkan program pencetakan 25 juta ha sawah hingga tahun 2005 (The Jakarta Post, 8 Juni, 2005). Krisis pertanian dan pangan tidak bisa diatasi hanya dengan mencetak sawah, namun memerlukan kebijakan dan pelaksanaan perlindungan semua lahan produktif untuk pertanian di seluruh Indonesia. Moratorium (pengurangan) konversi lahan produktif adalah pilihan kebijakan yang lebih baik.
4. Mengabaikan Sosial-ekonomi Petani
Seluruh kebijakan di bidang pembangunan, dan pelaksanaannya, tidak mampu mengangkat kondisi sosial-ekonomi petani, terutama petani padi. Berbeda dengan Eropa dan negara maju lain, di mana petani memperoleh berbagai dukungan dan subsidi, petani di Indonesia adalah kelompok yang paling tidak bias menggunakan hak sosial-ekonominya sebagai warga negara. Kualitas sumber daya manusia petani (dan nelayan) adalah yang terendah, dari segi pendidikan maupun kesehatan. Hal ini terjadi karena pembangunan pertanian gagal dikaitkan dengan pengembangan kesejahteraan petani melalui pembangunan desa yang rata dan adil. Anak-anak petani sulit mendapatkan akses pada pendidikan dan kesehatan yang bermutu. Petani kaya mampu menyekolahkan anaknya di luar desa, namun petani miskin biasanya mengirimkan anak-anaknya (yang putus sekolah) untuk bekerja di kota. Demikian pula, petani hampir tidak pernah mendapatkan pelayanan informasi mengenai pasar, iklim, dan hasil-hasil penelitian yang bisa mereka terapkan, termasuk mengenai teknologi tepat guna yang bisa memberikan nilai tambah pada produk pertanian. Di pedesaan, pemanfaatan teknologi pascapanen sering tidak ada. Sebagai contoh, sementara petani kelapa Indonesia menjual kopra mereka dengan harga amat rendah, para petani di Filipina sudah mampu mengolah kelapa menjadi virgin coconut oil yang mempunyai nilai tambah di pedesaan melalui penerapan teknologi yang sederhana. Komoditas pertanian Indonesia sering kalah bersaing di pasar internasional karena mutu pengolahan tidak baik, sementara harga lebih tinggi karena pemerintah gagal memberikan insentif teknologi dan ekonomi yang tepat. Citra petani sebagai golongan yang miskin, buta huruf, kumuh dan tidak berkembang muncul dari kegagalan mengangkat tingkat sosial ekonomi mereka. Akibatnya, semakin sedikit generasi muda yang mau jadi petani, bahkan semakin banyak orang berhenti menjadi petani, terutama di kawasan industri di Jawa dan Bali (tanah paling subur di Indonesia) karena tidak lagi mampu hidup dari bertani. Ketika produsen pangan adalah manusia-manusia termiskin di sebuah negara,maka ketahanan pangan negara itu akan terancam.
Mengingat hal-hal tersebut maka disarankan tiga langkah reformasi berikut ini:
1.Kebijakan pertanian harus menjadi bagian dari pembangunan perdesaan yang ramah petani, ramah lingkungan dan adil. Untuk itu, pembangunan infrastruktur (telepon, internet, listrik, jalan, teknologi pengolahan yang tepat guna) yang terkait perlu diintensifkan di pedesaan. Swasembada desa harus dijadikan tujuan utama.
2.Kebijakan pertanian tidak boleh bersifat seragam melainkan harus didasarkan pada keunggulan komparatif lokal. Target yang dibuat di tingkat nasional tidak harus dibebankan kepada tingkat lokal, terutama bila target tersebut dicapai melalui teknologi pertanian yang merusak sumber daya alam dan sistem lokal.
3.Kebijakan pertanian harus dirumuskan melalui konsultasi partisipatif dengan para petani. Hal ini membutuhkan perubahan pandangan di mana petani perlu dianggap sebagai pemulia benih, peneliti dan produsen pangan yang harus dihargai. Hak sosial, ekonomi dan kultural mereka harus dilindungi dan dijadikan landasan pembuatan kebijakan. Pemerintah sering memberikan insentif ekonomi berupa keringanan pajak, subsidi atau dukungan politik bagi perusahaan dan investasi di bidang industri. Hal yang sama perlu dilakukan bagi petani, yang jasanya justru lebih besar yaitu: memberi pangan kepada seluruh rakyat Indonesia!
Masalah yang dibahas dalam buku ini sebenarnya sudah sering dibahas, namun pemecahan masalah yang diusulkan dan dijalankan hampir selalu bersifat parsial. Maka, menjadi penting untuk memunculkan kembali semua persoalan lama tersebut, dengan penekanan pada perubahan paradigma melihat dan menganalisis permasalahan serta pemecahannya.
Perubahan paradigma tersebut dibutuhkan dalam mengelola ketahanan pangan di tingkat nasional dan daerah. Perubahan ini penting untuk melepaskan diri dari kebijakan dan praktek yang tidak tepat di masa lalu dan untuk pulih dari kerusakan yang telah terjadi di dalam sistem ketahanan pangan nasional maupun daerah. Perubahan paradigma juga perlu diletakkan dalam kerangka transformasi di dalam peradigma pembangunan. Pada dasarnya perubahan paradigma meliputi:
a. Peralihan dari sistem industrialisasi monokultur menuju sistem lokal yang beragam. Sistem monokultur terbukti rentan tedhadap hama, penyakit dan perubahan harga pasar ketika terjadi produksi yang berlimpah. Kebiasaan sistem monokultur tanaman pangan perlu diubah menjadi budaya pangan beragam, yang berbasis ragam budaya dan sistem pertanian di Indonesia.
b. Merubah pertanian berbasis produksi menjadi pertanian berbasis petani dan sumber daya lokal. Peningkatan produksi merupakan faktor penting dalam meningkatkan stok pangan, tetapi gagal dalam mencapai ketahanan pangan. Pemakaian sumber daya lokal dan memberikan prioritas kepada kesejahteran petani akan mendukung peningkatan produksi lokal dan pendapatan yang lebih mampu menjamin ketahanan pangan.
c. Bergerak dari pertanian berbasis agro-kimia menuju praktek pertanian yang ramah lingkungan. Tini merupakan upaya untuk melindungi sumber daya alam pertanian dan sistem produksi pangan serta menyediakan bahan pangan yang lebih sehata bagi penduduk.
d. Merubah sistem perencanaan terpusat menjadi perencanaan berbasis masyarakat lokal. Masyarakat harus bertanggung jawab atas ketahanan pangan dan pemerintah harus menyediakan perangkat kebijakan, dan dukungan teknis dan dana. Masyarakat kota dan desa perlu merencanakan strategi ketahanan pangan mereka sendiri yang akan diintegrasikan dalam kebijakan dan program ketahanan pangan regional dan nasional.
e. Merubah sistem pembangunan yang tidak terpadu (desa dan kota; industrialisasi dan pembangunan pertanian) menjadi sistem pembangunan terpadu. Program pembangunan menciptakan dikotomi antara pembangunan desa dan kota atau industrialisasi dan pembangunan pertanian. Proses pembangunan sering mendorong urbanisasi dan meningkatnya kemiskinan di desa. Sistem pembangunan terpadu akan, di satu sisi, memberi prioritas pada pembangunan pedesaan dengan menyediakan pelayanan kesehatan, pendidikan dan kesempatan kerja di wilayah pedesaan serta mengembangkan industri pedesaan yang berbasis pertanian; dan di sisi lain mendorong sistem produksi dan distribusi pangan perkotaan yang akan membantu penduduk miskin.
III.Telaah Teori
Menurut Michael Todaro (1987) “Pembangunan yang mengandalkan kemandirian (isolasi) akan tidak ekonomis bila dibandingkan dengan pembangunan yang melibatkan peran internasional.” Teori ini dianut oleh hamper seluruh pemimpin Negara di dunia, termasuk di Indonesia, bahwa pembangunan akan berhasil bila dilaksanakan secara serentak dan seragam. Akan tidak ekonomis bila setiap tempat di”spesial”kan sesuai kearifan local mereka.
Mulai pada tahun 1967/68, proyek Revolusi Hijau menjadikan bertani sekedar proses memproduksi komoditas, proses menghasilkan barang. Seiring dengan pergantian kekuasaan politik di Indonesia, dari Orde Lama ke Orde Baru, adalah rusaknya nilai-nilai yang berlandaskan pada kepercayaan terhadap kemulian alam dan penciptanya. Dinyatakan Sabastian Saragih, aktivis dari Yogyakarta LSM SPTN-HPS, Revolusi Hijau mengakibatkan hubungan manusia dengan alam maupun dengan sesama manusia lebih berkembang ke arah eksploitatif (2003:vi). Bertani, berbudidaya sebagai ritual kehidupan untuk berkreasi dan berkarya disingkirkan, digantikan dengan nilai-nilai pasar dan kapitalisme
Revolusi Hijau dicanangkan di Indonesia sebagai sarana yang akan meningkatkan produksi pangan, khusunya produksi beras, secara luar biasa. Dengan demikian, ada asumsi bahwa kelimpahan produksi akan meningkatkan kesejahteraan rakyat petani. Namun, pengalaman pahit kalangan petani akibat Revolusi Hijau membuktikan propagandanya pada dasarnya keliru.
Pembangunan selalu mengingatkan kita pada gagasan tentang kemajuan, kesejahteraan, dan kekayaan. Ikhtiar pembangunan memang demi mencapai hal-hal itu. Namun, pada praktiknya, pembangunan justru seringkali menemui kebuntuannya sendiri. Pembangunan, saat ini semakin kehilangan daya pikatdan vitalitasnya. Praktik dan wacana pembangunan saat ini berada dalam titik kritis akibat berbagai ketidak selarasan dan kesenjangan.
Elizabeth Harrison, menyatakan bahwa, pembangunan yang berlangsung saat ini telah menjadi mesin pembangunan yang monolitis, yang hanya berorientasi pasar semata, yang siap menggulung dan menggilas siapapun yang mencoba merintangi. Pembangunan telah kehilangan muatan universal yang berorientasi pada kemanfaatan bagi kelangsungan hidup manusia dan masyarakat.
Maka, kalau Robertson (Robertson: 1984) pernah menganggap pembangunan sebagai usaha kolektif paling ambisius umat manusia, itu bukanlah sesuatuyang berlebihan. Ini karena pembangunan seringkali gagal mewujudkan cita-citanya dan malah menjerumuskan rakyat ke jurang kesengsaraan.
Di tengah arus dan tata ekonomi global yang acapkali meninggalkan dan menanggalkan sesuatu yang berhubungan dengan etika dan moralitas, menunjukkan bahwa pembangunan yang tengah berlangsung saat ini sedang berada pada persimpangan jalan, dan karena itu ia memerlukan suatu keterlibatan moral yang bersifat global. Bahwasanya studi-studi pembangunan seharusnya mampu menyatakan secara lantang suatu tanggungjawab moral bersama atas pembangunan.
Dengan demikian, di dalam pembangunan yang dijalankan diharapkan masih terkandung suatu naratif moral dan empiris. Karena, yang sering terjadi, sebagaimana pernah dikatakan Weber, bahwa dalam masyarakat modern manusia sering terjebak pada apa yang disebut dengan rasionalitas instrumental bertujuan. Dalam segala tindakan, termasuk dalam hal ini pelaksanaan pembangunan, orang cenderung hanya mengejar keuntungan semata dengan mengkalkulasinya secara matematis, teknis, logis, dengan mengesampingkan persoalan nurani.
Kondisi semacam inilah yang dikhawatirkan Habermas (Habermas: 1990) akan memunculkan terjadinya pemujaan berlebihan terhadap teknologi, sehingga teknologi menjadi sebuah ideologi baru dalam kehidupan. Maka, sekali lagi perlu ditegaskan tentang pentingnya untuk mengedepankan sebuah prinsip etika dan moralitas dalam setiap pelaksanaan pembangunan. Kelompok-kelompok marjinal yang selama ini tersisihkan dalam proses pembangunan dan energinya terkuras habis karena berhadapan dengan ketidakadilan global, perlu dikembalikan lagi martabat mereka sebagai manusia serta melibatkan mereka dalam seluruh proses sosial yang terjadi.
Teori diatas kita kenal sebagai Teori Modernisasi. Teori modernisasi ternyata mempunyai banyak kelemahan sehingga timbul sebuah alternatif teori yang merupakan antitesis dari teori modernisasi. Kegagalan modernisasi membawa kenajuan bagi negara dunia ketiga telah menumbuhkan sikap kritis beberapa ilmuan sosial untuk memberikan suatu teori pembangunan yang baru, yang tentu saja mempunyai banyak kelebihan dibandingkan dengan teori yang telah ada.
Salah satu teori yang menjadi antithesis teori Modernisasi adalah Teori dependensi.. Teori ini didasari fakta lambatnya pembangunan dan adanya ketergantungan dari negara dunia ketiga. Perspektif dependensi muncul setelah perspektif modernisasi diterapkan di banyak negara terbelakang. Pengamatan yang dilakukan oleh ahli sejarah telah memberikan gambaran serta dukungan bukti empirik terhadap kegagalan modernisasi. Sebagai sebuah kritik, dependensi harus dapat menguraikan kelemahan-kelemahan dari modernisasi dan mengeluarkan pendapat baru yang mampu menutup kelemahan tersebut. Penggunaan metode historis struktural telah memberikan bukti empirik yang sangat cukup untuk memberikan kritik terhadap modernisasi. Sebagai sebuah proses perubahan sosial yang memakan waktu sangat lama, pembangunan erat kaitannya dengan sejarah perkembangan suatu negara. Oleh karena itu tidak salah apabila Frank menyatakan bahwa perkembangan ekonomi negara saat ini tidak lepas dari begaimana keadaan sejarah ekonomi, politik dan sosialnya di masa lalu.
Di tengah arus dan tata ekonomi global yang acapkali meninggalkan dan menanggalkan sesuatu yang berhubungan dengan etika dan moralitas, menunjukkan bahwa pembangunan yang tengah berlangsung saat ini sedang berada pada persimpangan jalan, dan karena itu ia memerlukan suatu keterlibatan moral yang bersifat global. Bahwasanya studi-studi pembangunan seharusnya mampu menyatakan secara lantang suatu tanggungjawab moral bersama atas pembangunan.
Dengan demikian, di dalam pembangunan yang dijalankan diharapkan masih terkandung suatu naratif moral dan empiris. Karena, yang sering terjadi, sebagaimana pernah dikatakan Weber, bahwa dalam masyarakat modern manusia sering terjebak pada apa yang disebut dengan rasionalitas instrumental bertujuan. Dalam segala tindakan, termasuk dalam hal ini pelaksanaan pembangunan, orang cenderung hanya mengejar keuntungan semata dengan mengkalkulasinya secara matematis, teknis, logis, dengan mengesampingkan persoalan nurani.
Kondisi semacam inilah yang dikhawatirkan Habermas (Habermas: 1990) akan memunculkan terjadinya pemujaan berlebihan terhadap teknologi, sehingga teknologi menjadi sebuah ideologi baru dalam kehidupan. Maka, sekali lagi perlu ditegaskan tentang pentingnya untuk mengedepankan sebuah prinsip etika dan moralitas dalam setiap pelaksanaan pembangunan. Kelompok-kelompok marjinal yang selama ini tersisihkan dalam proses pembangunan dan energinya terkuras habis karena berhadapan dengan ketidakadilan global, perlu dikembalikan lagi martabat mereka sebagai manusia serta melibatkan mereka dalam seluruh proses sosial yang terjadi.
IV.Kesimpulan
Buku Lumbung Pangan, Menata Ulang Kebijakan Pangan merupakan salah satu bukti kegagalan teori modernisasi, bahwa pembangunan tidak selalu harus seragam dan tergantung pada pihak lain. Dalam menata kebijakan pangan di Indonesia alangkah bijaknya dan akan berhasil apabila pemerintah memperhatikan kearifan local (spesifik lokasi) masyarakatnya.
Daftar Pustaka
Jhamtani, H. (2005). WTO dan Penjajahan Kembali Dunia Ketiga. Jogyakarta: INSISTPress.
Jhamtani, Hira dan Hanim, Lutfiyah (1999) ‘Petani dan Pertanian di Era WTO’ (hlm 60-75), dlm Wacana, Edisi 4, INSIST Press: Yogyakarta.
Koento, Wibisono. 1983. Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Aygus Comte. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.
Kuntowijoyo. 2002. Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura. Mata Bangsa. Jogjakarta.
Narwoko, J.Dwi dan Bagong Suyanto (ed), Sosiologi ; Teks, Pengantar dan Terapan, Prenada Media, Jakarta: 2004
Suryono,A.2004. Pengantar Teori Pembangunan. Malang : Kerjasama FIA Unibraw-Universitas Negeri Malang, UM Press.
Supriatna, T. 2000. Strategi Pembangunan dan Kemiskinan. Jakarta : Rineka Cipta.
Wertheim, W.F. 1999. Masyarakat Indonesia dalam Transisi; Studi Perubahan Sosial. Tiara Wacana. Jogjakarta.
Wulandari, Danarti dan Rahardjo, Toto (2003) ‘Sekolah Lapang: Sekolahnya Petani’ (hlm 139-169), dlm Wacana, Edisi 15, INSIST Press: Yogyakarta
terimakasih resensi buku ini baik untuk pengetahuan saya, tks
BalasHapusTerimakasih telah mengulas buku terbitan INSISTPress. Rehal buku ikut ditautkan di link: http://insistpress.com/katalog/lumbung-pangan-menata-ulang-kebijakan-pangan/
BalasHapus